Dikutip dari Wikipedia dari Gamble, Teri and Michael. Communication works. Seventh edition.
Media sosial mempunyai ciri - ciri sebagai berikut :
- Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
- Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
- Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di banding media lainnya
- Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi
Adalah kolom komentar yang sering kali berubah wujud menjadi percikan bensin di kobaran api..
Saya termasuk yang suka
Baca juga: Tentang Komentar, Jawaban dan Blog Walking
Kebanyakan baca kolom kementar kali ya makanya saya terdorong untuk menulis. Ada sesuatu yang harus dilepaskan, saya rasanya terlalu banyak menyerap energi negatif. Mungkin kalian mengerti maksud saya..
Iya..
Komentar negatif..
Sesuatu yang diunggah ke media sosial memang sepatutnya sudah siap dikomentari. Penikmatnya tidak hanya orang yang sudah kita setujui untuk melihat/membaca unggahan kita, tapi bisa, sangat bisa berakhir di hadapan orang yang sama sekali tidak kita kenali bahkan mengerti dengan apa yang sudah kita unggah.
Dengan beragamnya latar belakang, kultur budaya, jenjang pendidikan, pola pikir, pengalaman bahkan tingginya kebutuhan piknik seseorang (?), komentar yang masuk tentu tidak bisa kita saring menjadi hanya yang manis-manis saja, atau yang benar-benar fokus sesuai dengan target yang kita inginkan, akan ada saja "zonk" yang bisa bikin baper, tergantung seberapa "tinggi"nya kedudukan si pembuat status/pengunggah foto.
Sekarang mari menempatkan diri sebagai penikmat unggahan yang bisa berkomentar..
Duh, banyak yang aneh ya unggahan-unggahan itu, kadang kita tidak berteman atau mengikuti, tapi qadarullah ada saja yang sampai di beranda kita.. Tidak jarang kita setuju dengan apa yang sudah diunggah, akan tetapi tidak jarang juga kita tidak setuju bahkan bisa ikut terpancing emosinya karena unggahan tersebut.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Baca, cermati baik-baik berita yang kita terima, saya biasanya mencoba mencerna hingga kolom komentar. Walaupun kadang, ya.. sudah merasa terintimidasi duluan dengan bahasa para komentator. Kadang komentar sudah lebih bernada penilaian sok tahu, lalu kemudian memaki. Apa untungnya? Ngeri! Sungguh.. Saya yang hanya membaca saja merasa ngeri jika komentar itu dituliskan untuk saya.
Mungkin saya yang tidak familier dengan jenis kata umpatan seperti (maaf): S*tan! T*i!, M*ti Lo! Dan deretan kalimat cacian dan makian yang level kasarnya kadang sudah menyentuh ranah kebun binatang dan ranah pribadi orang lain yang bahkan ikut menyebut anak, orang tua atau anggota keluarga yang lain. Kasar.. kasar sekali.. bahkan jikapun yang dikomentari itu kelakuannya sudah sangat buruk, tidak lagi mengandung sedikitpun nilai-nilai kemanusiaan, tapi apa pantas dikomentari seperti itu? Semarah-marahnya kita, sejelek-jeleknya orang tersebut. Lalu apa bedanya kita yang memberi komentar dengan yang dikomentari? Tidak bisakah kita berkomentar dengan lebih bijak?
Coba tempatkan diri sebagai penerima komentar negatif?
Coba bayangkan jika ternyata kita sebagai pemberi komentar tidaklah berbeda buruknya hanya karena 1 (apalagi lebih?) kata makian?
Kita pasti sudah familier dengan kalimat "Mulutmu Harimaumu" yang mungkin bisa dikonversi ke dunia digital menjadi "Jempolmu Harimaumu" atau "Kualitas Diri Anda ditentukan dari Perkataan Anda." Banyak.. sudah banyak kalimat pengingat bahkan contoh bagaimana kolom komentar membawa seseorang ke ranah hukum..
Mungkin kita juga perlu ingat bahwa pembaca komentar kita bukan hanya orang dewasa yang sudah bisa menyaring informasi dengan baik (yang sayangnya kadang ya sama saja kasarnya), ada anak-anak yang bisa saja ikut membaca komentar menyedihkan itu, yang bisa jadi menganggap hal tersebut adalah hal yang wajar lalu meneruskan kebiasaan itu. Bahwa itu adalah cara yang lumrah untuk melampiaskan emosi. Kalau saya sih ngeri! Serius..
Menjaga Lisan
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah).Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengajarkan kepada kita untuk menjaga lisan, tidak hanya menyeru tapi juga memberi tuntunan. Kita mungkin bukan Beliau yang memiliki akhlak sempurna, tapi tidak ada salahnya kembali mengingat dan menerapkan lagi tuntunannya di jaman yang serba "kelepasan" ini.
Yang buruk mungkin tetap terjadi, perkataan kasar pun akan tetap ada di kolom komentar, tapi pastikan itu bukan dari kita, bukan dari keluarga kita...
nah kondisi saat ini kayanya orang2 tuh seolah2 makin bebas buat berkomentar negatip yang bener2 negatip... gatau knpa skrg banyak bgt orang2 yang kehilangan moral dan etikanya di sosmed
ReplyDeleteBerasa gak bisa dilacak juga kali ya.. Ckck..
DeleteBeraaaat, berat betul postingan yg ini.
ReplyDeleteTp yaaa gitu deh kadang orang ndk sadar klo berkomentar di sosmed, mgkn jg krna kebawa suasana balas2an komen arau ntahlah..
Semoga kita dijauhkan dari memberi komen negatif *sa ndk pernahji komen geje toh ����
Idem sama ibu Raya.. haha
DeleteEmang kadang kalau bahasin komentar negatif tuh ga ada habisnyaaaaa, orng bisanya ga mikir dulu.
ReplyDeleteBaca ini gue jadi inget sama quote dari alit yang bilang "silangkan mengkritisi tapi jangan membunuh mimpi"
Iya... ga mikir dia punya hal lebih penting untuk dikerjain malaahh.. Hihi..
Deleteintinya sh ngajak gelud :D
ReplyDeleteHaha.. sabar :D
Deletesaya pernah karena status facebook nyaris dipolisikan :(
ReplyDeletemakanya sekarang malas mhe pasang status facebook, komen pun seperlunya. Malas mhe berdebat :)
tapi kalo di blogku ada yang komen kasar biasanya saya hapus (kalo komentarnya di artikel baru) tapi kalo komennya di artikel lama, komentarnya tidak akan saya tayangkan
Oh ya kak? Baru tau saya kita sempat punya pengalaman seperti itu. Ditulis di blog ndak?
DeleteBenar itu, salah satu gunanya moderasi :)
Eimm yahh.. walaupun ada istilah "pendekar jempol" koar-koar di jempol doang, giliran di dunia nyata dia kemayu :p
ReplyDelete