Tentu saja kita yang beragama Islam sudah banyak diingatkan bagaimana besarnya pengorbanan orang tua khususnya seorang Ibu. Saya akan mengutip surah dan hadist sekadar mengingatkan kita lagi:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)Tak perlu saya jelaskan lebih jauh tentang maksud Surah dan Hadist di atas, kita semua tentu sudah sering mendengarnya.
Selanjutnya, saya akan menggunakan panggilan Mama untuk mengganti kata Ibu, karena ini akan bercerita tentang pengalaman pribadi saya yang sehari-harinya memanggil Mama.
Siksaan Mama
Sejak kecil, Mama saya kenal sebagai orang yang keras, disiplin dalam menjalankan apa yang sudah menjadi tujuannya. Saya, seorang anak yang belum mengerti akan banyak hal merasa Mama menyiksa saya, akan banyak hal. Terutama yang berkaitan dengan waktu bermain.
Saat di rumah, saya merasa tidak begitu leluasa bermain, saya merasa selalu disiksa oleh Mama karena perintahnya untuk tetap berada di dapur; meniup api menggunakan bambu, mengupas bawang, mencuci ikan, menumbuk bumbu yang terasa seperti setahun saat mendengar teman-teman asyik bermain di samping rumah, memetik sayur (kebanyakan menggunakan tangan atau kuku yang akan membuat warna kuku berubah menjadi kecoklatan, jorok!). Huahhh... gelisah pokonya!
Sesekali saya kabur melalui dapur saat Mama lengah, dan tidak jarang saya tertangkap dan digiring untuk kembali ke rumah sambil mendengar kalimat yang sama, berulang-ulang, seperti promosi 3 pasang kaos kaki seharga Rp. 20.000 saja.
"Kamu nanti mau jadi apa kalau tidak bisa memasak?" Seru mama berulang-ulang.
Bosan, annoying banget buat anak Sekolah Dasar seperti saya.
Baca juga: Saat Mama Tidak Berada di Rumah
Sampai memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), malam Minggu saya sudah jelas tempatnya, KAMAR MANDI! Ngapain? Nyuci!! T_T
Seingat saya, saya diberi tanggung jawab untuk mencuci pakaian saya sendiri sejak saat itu, jika tidak mencuci, tidak akan ada pakaian sekolah, resiko tanggung sendiri. Padahal ya, kalau mau dibilang, ada kok "anak tinggal" di rumah kami. Tapi saya tidak boleh dibantu, no, no at all!
Sedikit tentang istilah anak tinggal, dulu, karena fasilitas sekolah masih sangat terbatas di daerah perdesaan, maka sejak jenjang SMP dan umumnya Sekolah Menengah Atas (Sekarang SMU), anak-anak yang tidak mempunyai fasilitas sekolah dikirim orang tuanya untuk sekolah di daerah perkotaan, baik itu numpang tinggal bersama keluarga, orang yang baru dikenal tapi dipercaya untuk dititipi anak (biasanya mereka tinggal juga sambil membantu pekerjaan rumah tapi tidak dianggap pembantu), atau dibuatkan gubuk untuk tinggal bersama dengan teman-teman sekampungnya. OMG, i miss them.. :(
Kembali ke topik, saya yang tidak rajin tentu saja sering kena marah oleh Mama. Kadang ada perasaan stress juga mendengar Mama terus-terusan mengomel, terlebih standar kebersihan dan kerapian mama sangat jauh levelnya dengan standar saya. Jelas aja sih bakal kena omel! LOL
Perasaan Bangga Itu Muncul Saat SD
Saya ingat betul, saat SD saya dipertemukan dengan sepupu 2x saya yang bernama Rani. Bertemu dan menjadi sangat akrab secara tidak sengaja hanya karena 1 sekolah, dan saya minta izin untuk bermain di rumahnya sepulang sekolah. Qadarullah, setelah orang tua menelusuri, ternyata Rani sepupu 2 kali saya! Senangnya, saya jadi lebih bebas memanjat dan menguasai pohon jambu di halaman rumahnya!! hahah..
Oke.. Skip, bukan itu yang membuat saya bangga, jadi suatu hari (semoga saya tidak salah ingat), kami berdua saja di rumah, saat kami ingin makan, makanan saat itu hanya ada ikan saja, tidak ada sayur, melihat sayur kangkung yang tumbuh subur di tanah kosong di dekat rumah Rani, sayapun menawarkan diri untuk memasak kangkung tumis. Rani sempat membuat pengakuan bahwa dia tidak bisa memasak, saya dengan berlapang dada (padahal mulai riya :p) mengajaknya memetik kangkung (ini juga hal yang biasa saya lakukan untuk membuat Mama senang karena tak perlu membeli sayur lagi).
Singkat cerita kangkung tumis lahap dimakan oleh Rani dengan pujiannya yang mengatakan rasanya enak. Sumpah ya, bangga banget waktu itu, akhirnya saya punya kelebihan juga dari si pandai Rani. Apalagi dia mengatakannya dengan sangat kagum. Like... dia gak nyangka banget saya bisa masak. Saya bilang "gampang jiii.." sambil tersenyum dan kepala yang masih terlihat kecil namun sebenarnya udah berasa ngembang banget. LOL
Baca juga: 5 Kesamaan Antara Saya dan Mama
Saat Siksaan Berubah Rasa Menjadi Nikmat
Mungkin, jika membaca separuh saja dari tulisan ini, akan terkesan Mama menyiksa saya sedemikian rupa dengan segala perintah dan aturannya. Ketahuilah, saya menggunakan sudut pandang anak SD yang masih gila bermain dan tidak berpikir panjang pada Sub Judul di atas.
Saat ini, jangan tanya bagaimana perasaan disiksa itu berubah menjadi rasa syukur karena (walaupun tidak jarang dengan terpaksa) menjalankan kemauan Mama untuk membantu di dapur.
Sejak tamat SMA, dan saya ditugaskan di kepulauan, saya jadi tidak kagok dengan pekerjaan dapur.
Saat pekerjaan saya berhubungan dengan pengeluaran dapur responden, saya tidak bingung tentang bumbu dapur apa saja yang disebutkan atau kemudian dengan mudah mengidentifikasi pertemanan komoditinya.
Dan hingga saat ini, saat suami memuji masakan saya, saat menyajikan makan dan suami membanggakannya kepada orang lain, perasaan saya tentu bangga dan senang sekali.
Perasaan-perasaan di atas tentu tidak dapat saya rasakan jika bukan karena jasa Mama, yang walau sering kali saya sakiti dengan bantahan dan aksi kabur-kaburan, Mama tetap disiplin menjalankan apa yang menjadi targetnya. Membuat saya setidaknya tahu bekerja di dapur, bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik.
Masih teringat juga kalimat Mama: "Mudah-mudahan nanti kamu dapat suami yang berduit, kalau tidak nanti kamu bagaimana?"
Jangan diartikan Mama saya matre ya, maksud Mama melihat saya yang suka malas-malasan itu, kalau suami saya nanti punya penghasilan pas-pasan, dan saya tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, bagaimana kami akan membayar pembantu?
Jadi sadar juga, kalimat Mama tuh jadi doa untuk saya, Alhamdulillah saya merasa suami saya berduit Ma.. dan saya juga penuh rasa cukup dan bersyukur. Apalagi saya juga akhirnya bisa melakukan pekerjaan domestik, kantoran dan lapangan. Ini anak hasil doa dan didikan Mama yang suka ngomel (demi kebaikan dan karena sayang). Dan sepertinya, sedikit banyak, saya membayangkan akan jadi Ibu seperti Mama jika sudah dikaruniai anak nanti. Suka ngomel juga. Wkwkwk..
Maaf dan terima kasih Ma, saya masih terlalu kaku untuk bilang itu langsung ke Mama, saya takut menangis seperti saat saya mengetik ini, jika diberi pilihan untuk mengganti sosok Mama, saya tetap ingin Mama yang ini, yang sayang sama saya, yang suka mengomel, yang perfectionist, yang tetap menerima anaknya dengan sedikit kelebihan dan banyak kekurangan ini. Uhibbuki fillah..
Tetap sehat, tetap bahagia, tetap tegur saya jika salah. Karena saya masih anak Mama dan Mama masih orang tua saya. Dan karena saya ingin Mama, Bapak, adik-adik dan keluarga besar kita bahagia, walau belum tentu bisa saya bahagiakan, walau tentu tak bisa menebus sedikitpun pengorbanan tampak dan tak tampak dari Mama...
Teman-teman, punya pengalaman yang sama dengan pemikiran masa kecil yang berpikiran negatif ke orang tua atau hususnya ke Ibu dan baru sadar setelah dewasa seperti saya? Share di kolom komentar ya :)
#MenulisAsyikdanBahagia
Tos mbk. Sejk SD aku jg udh dikasih tanggung jwb sm ibuk. Sesuai usia kayaknya. Brsih2 rmh pagi dan sore. Kdg suka dicek. Klok ada bagian yg masih ngeres alias kotor disuruh bersihin lg. Gk boleh main sblm selesai brsih2. Makin naik jenjang sekolah. Tanggung jwb tentu makin ditambahin sm ibuk. Alhmdulillah, begitu ngerantau ke pulau jawa buat sekolah smbil mondok, aku gk kaget dg kehidupn anak pondok yg kudu serba mandiri.
ReplyDeleteDah, smoga mama kita diberikan kesehatan dan senantiasa bahagia ya Mbak Irly. Amiinnn
Tante kereeeenn.
ReplyDeleteSudah dari dulumi tawwa dy persiapkan dirimu Ir. Meskipun anak perempuan semata wayang tapi ndk dimanja, ihiiiy. Hasilnya lihai di dapur. Dan Mamak pun bisa traveling kesana kesini krna urusan domestik dapur bisa digantikan sama anak sematawayangnya ����
Aaah Mama Irna macam mama mertua saya, keras, disiplin, walhasil anak-anaknya pandai di dapur semua, termasuk suami, hihihi. 😄
ReplyDeleteDulu juga banyak anak tinggal di rumahku..saya ji yang "agak" minat di dapur..itupun kadang2..hahah..
ReplyDeleteLantaran manjanya dulu,pas sekarang ada tanteku yang datang dan liat sa urus segalanya sendiri,dy datang peluk saya dari belakang trus bilang,Alhamdulillah,ternyata sa bisa ji urus suami dan anak-anakku..
Hwahahah..parah sekali berarti dulu..ckckck
Mamaa ternyata siksaannya berujung kereen.. aku dulu merasa dikekang tapi sekarang jadi happy karena terbiasa nggak main terus2an, bisa ngontrol diri.
ReplyDeleteSehat2 untuk mama yaaa ☺ dan semuaa keluarga
Yang ditempa yang berhasil Mba :)
ReplyDeleteTerharu mbak bacanya, iya ya kita suka suudzon sama orang tua, padahal maksud mereka tentu ingin yg terbaik untuk anak anaknya :")
ReplyDeletebaca tulisan ini sa jadi maluuuu :(
ReplyDeletesaya sampe nikah ini belum phe tahu memasak dan masih sering beli makanan di luar, huhuhu :(
Halo Mbak Irly, salam kenal. Saya jadi mikir kalau saya nanti punya anak, bisa nggak ya sehebat mamanya mbak irly, atau sehebat mama saya :(.
ReplyDeleteSalam,
Venessa (1m1c)
oalaaaa... kejadian itu smpai skrg tidak trlupakn spup.. trnyata km ndak lupa jg.. palagi tiap numis2 sayur.. sringkali tringat momen masak kangkung kita wktu masih kecil (tepatnya irna yg masak sii.. hehe)
ReplyDeletebtw.. mengaku sy soal disiplin tante.. ingat wktu sy nginap d rumahmu.. masih asik main di kamar.. eh dipanggil ngulek sambal n masak2.. tak ngaruh ada sepupu dtg main.. hehe.. but see now.. spupuku ini jago masak.. And me?? msih standar sj sii kemampuan masaknya..^^ Tanteku hebatt..