26 Oct 2017

Hobi Yang Dibayar, Bukankah Itu Mimpi Setiap Orang?

Dulu, waktu saya masih menghabiskan banyak waktu di depan TV. Selain menikmati acara TV, mengagumi keindahan alam yang disajikan, saya juga sibuk berdecak kagum dalam hati, menghabiskan jatah iri pada host acara yang bisa berkeliling ke berbagai potongan surga yang berserakan di muka bumi ini sambil terus menerima bayaran.

Yup! Dulu saya sangat iri pada host acara jalan-jalan yang bertugas mempromosikan keindahan alam Indonesia kepada para penontonnya. Udah tau ya acaranya?

Bener.. My Trip My Adventure!!


Saya yang suka jalan-jalan ini membayangkan bagaimana menyenangkannya jika hobi saya tersebut bisa berjalan seiring dengan kebutuhan ekonomi mendasar setiap manusia. Uang.. Every body need it right?

Ya.. walaupun saya juga sadar bahwa tidak selamanya hal itu akan menyenangkan, akan ada duka juga pastinya, sama seperti pekerjaan lain, tapi bukankah melakukan hal yang disenangi/menjadi hobi itu akan membuat bekerja terasa seperti tidak sedang bekerja? :)

Sekarang...

Saya melepas besarnya rasa iri itu seiring merenggangnya hubungan saya dengan TV. :p Gak ding.

Jujur saja, selain tahu diri pihak TV tidak akan menerima saya, rasanya tidak mungkin melepas pekerjaan yang sudah saya jalani selama lebih dari 12 tahun ini. Dan sebut saja saya menemukan "jalan" untuk hobi yang sudah saya lakukan secara amatiran sejak zaman diary menjadi sahabat baik anak perempuan.

Menulis

Mungkin tidak seprofesional teman-teman yang menulis buku mulai dari antologi sampai buku yang hanya memajang namanya sendiri sebagai penulis. Blog menjadi jalan saya mewujudkan hobi yang dibayar.

Baca juga: Menjadi Bloger yang Merdeka

Sedikit saya ambilkan latar belakang pembuatan blog ini dari About Irly yang bisa dilihat di header blog:
Blog ini saya buat atas keinginan berbagi pengalaman dan hikmah selama bertugas di lapangan. Pengalaman yang tentu saja menyenangkan karena bisa bersosialisasi dekat dengan masyarakat. Walaupun tidak jarang dibutuhkan hati yang kuat karena selain rintangan selalu ada, kisah menyentuh hati juga bisa muncul tanpa terduga.
Sampai akhirnyapun saya sudah tidak terlibat langsung dengan lapangan saat ini, saya berharap pengalaman dan hikmah yang saya temui dalam kehidupan sehari-hari bisa saya sampaikan melalui blog ini.
Belakangan, blog ini saya buat mengikuti passion saya, tidak hanya mencoba berbagi tapi juga mengikuti hobi.
Daannn.. belakangan juga saya baru tahu bahwa blog ini, kesenangan curhat menulis ini, bisa menghasilkan, walaupun tak banyak, walaupun kadang tawaran datang dengan sendirinya, walaupun kadang kami sesama bloger juga harus mengisi form kerjasama yang tak berujung.

Naah kaaaan.. Curhat lagii.. Haha..

Oke, saya cuma memberi gambaran saja, bahwa ada jalan untuk membuat mimpi itu menjadi nyata, dan tak melulu harus jalan-jalan atau menulis blog. Seperti yang dituliskan Mak Diah Alsa di tulisan berjudul Hobby yang dibayar ada banyak profesi yang berawal dari sekedar hobi, misalnya fotografi, memasak, menulis, desain ataupun crafting.

Tidak punya hobi yang sama dengan yang sudah disebutkan di atas? Santai, tulisan di atas bukan patokan baku atau batasan terhadap jenis hobi yang bisa menghasilkan kok. Misalnya nih ya, kamu sukanya main lego, tinggal dilihat peluang usahanya seperti apa, mungkin bisa dibentuk jadi action figure dan dipasarkan ke grup atau komunitas yang suka mengoleksi pajangan action figure.

Atau mungkin kamu hobinya belanja, (ini saya juga sih, hehe..) Jadi kamu bisa menyalurkan hobi belanja tersebut dengan berbelanja langsung atau belanja online melalui tempat berbelanja terpercaya seperti hijup.com dan menjualnya kembali dengan mengambil sedikit keuntungan. Percaya deh, tidak semua orang punya waktu untuk memilah-milih pakaiannya di internet, yang notabene dianggap mudah dan murah sekalipun, target pasarnya ya mereka-mereka ini. Ssst.. saya sudah mencoba lhoo ^^
Intinya, kalau mau mencoba dan berusaha mencari tahu, akan ada jalan untuk mewujudkan hobi yang dibayar. Iya gak? :)

Jadi, hobi kalian apa teman-teman? Sudah bisa menghasilkan kebahagiaan batin dan ekonomi juga? Hihi..

Share di kolom komentar ya ^^
Read more

23 Oct 2017

Hubungan Antara Murid, Guru dan Orang Tua Murid

Kendari beberapa hari ini kembali heboh dengan hal yang kurang mengenakkan. Kalau sebelumnya karena PCC hingga menelan korban jiwa. Berita heboh saat ini akibat tindakan kekerasan guru (berita mengatakan tamparan) kepada murid yang dianggap tidak sopan, kemudian masih diikuti dengan tindakan tidak sopan beruntun sang murid dan pemukulan orang tua murid kepada guru.

Ini petaka.. :(

Saya tidak ingin membahas lebih dalam kasus tersebut, karena takut jatuhnya ikut membully si anak SMA yang sudah cukup terkenal dengan berita negatifnya tersebut. Jadi, seperti judul tulisan ini, mari membahas tentang hubungan murid, guru dan orang tua murid saja. Tema ini sengaja kami angkat bersama kawan-kawan di Sultra Blogger Talk sebagai bentuk keprihatinan kami terhadap kejadian yang masih hangat ini. Tulisan Mbak Diah Indriastuti sebagai member baru di SBT bisa dibaca di sini Adab Sebelum Ilmu.

Belajar dari kasus yang sedang viral di atas, kita kembali belajar bahwa, ada 3 tipe orang tua murid (Mm.. ini berdasarkan pengamatan saya sih ya..):
1. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada guru dan sekolah.
2. Ikut memantau pendidikan anak melalui guru di sekolah.
3. Hanya ingin anaknya dididik pelajaran saja, moral bukan urusan guru dan sekolah.

3 Hal mendasar diataslah yang akan membedakan cara bereaksi orang tua jika suatu saat anaknya melaporkan tindakan pemukulan atau mungkin yang dirasakan anaknya kurang mengenakkan di sekolah, entah oleh guru maupun disebabkan oleh sesama murid.


Mungkin kita sudah banyak mendengar ataupun membaca pengakuan dari orang lain saat mengomentari tindakan seperti kejadian di atas. Akan sangat banyak yang berkata:

"Ah.. Kami sekolah dulu juga dipukul lebih parah dari itu, tapi kami tidak berani melapor, karena kalau melapor, malah akan ditambah (orang tua juga ikut memberi pukulan)."

atau..

"Ah, anak sekarang mah lembek, baru disentuh dikit udah melapor."

Komentar-komentar di atas itu ada benarnya menurut saya, walaupun standar toleransi setiap orang itu beda-beda ya.. Tapi kami beneran takut melapor ke orang tua, karena apa? Orang tua jelas-jelas akan membela tindakan yang diambil oleh guru. Bahkan kesannya, kalau orang tua sudah dipanggil ke sekolah itu kita udah nakal banget.

Intinya, kami terlebih dahulu akan kena marah lebih dulu dengan kalimat pembelaan seperti ini:

"Kenapa dipukul? Gak mungkinlah kamu dipukul tanpa alasan."

Walaupun mungkin pada akhirnya orang tua tipe kedua akan melakukan cek dan ricek kembali jika dianggap urusannya serius. Tapi jika tidak, maka anak akan diminta menyelesaikan masalahnya sendiri.

Tipe pertama mungkin akan beda lagi, kamu dipukul berarti kamu memang salah. Saya sudah percayakan pada sekolah. Selesai.

Sedangkan tipe ketiga, tidak akan menerima sama sekali tindakan disiplin dalam bentuk apapun kepada anaknya. Siap-siap saja sekolah akan heboh jika anaknya sampai dibuat tidak nyaman.

Saya tidak akan mengklasifikasikan orang tua yang berada di dalam berita viral itu masuk ke tipe mana, satu hal yang pasti, tidak ada orang tua yang mau anaknya dipukuli tanpa alasan yang jelas.

Jika dikembalikan pada diri saya, saya jelas tidak bisa memantau anak saya 24 jam secara penuh, adanya guru di lingkungan sekolah jelas sebuah bantuan besar, karena waktu anak banyak dihabiskan di sekolah. Tentunya sambil saya awasi. Tak mengapa ada tindakan disiplin jika memang tindakan tersebut saya anggap wajar dan bertujuan untuk mendidik secara fisik maupun mental.

Saya juga tidak ingin melepas begitu saja pengawasan terhadap anak saya ke pihak sekolah termasuk guru. Bagaimanapun anak masih tanggung jawab saya. Lingkungan sekolah dan guru sebagai pengawasnya adalah sarana sosial berpendidikan untuk anak. Disana dia akan belajar (semakin) banyak hal, disiplin, menghormati yang tua, mengasihi yang muda, memecahkan masalah, bersosialisasi, memperoleh ilmu, berorganisasi bahkan mengasah kepekaannya sebagai manusia dalam lingkup masyarakat yang lebih kecil, yang harus taat pada aturan yang sudah ditetapkan sekolah.

Kemudian jika dikerucutkan lagi, apa yang akan saya lakukan jika anak saya ditampar?

Well, itu tentu mengejutkan untuk saya, tapi saya tentu akan memilih tabayyun dulu, alasan penamparan itu apa, dari anak dan juga dari yang menampar. Jika tindakan disiplin yang diambil saya rasa berlebih, tentu akan saya bicarakan dengan pihak sekolah. Diupayakan baik-baik, tidak perlu sampai membuat kegaduhan.

Dan jika anak saya memang pantas menerima tamparan itu, tidak akan saya permasalahkan. Jika sampai akhirnya diketahui kesalahannya terlalu berat, saya berharap tidak ikut memberi bonus serupa kepada anak.

Yup, sorry to say, saya termasuk orang yang bisa melakukan hal yang dianggap kekerasan fisik kepada anak dengan tujuan mendisiplinkan. Tapi tetap dong, sebisa mungkin hal itu saya usaha dan doakan tidak perlu terjadi. Anak tentu perlu selalu diingatkan, ditegur, dibimbing, bahkan dihukum. Tapi semoga cukup hanya dengan perkataan dan tindakan disiplin lainnya, tidak perlu sampai memukul. Jadi, emaknya bisa menghukum sambil belanja di hijup.com hihi :D

Nah..

Itu tadi opini saya terhadap hubungan antara murid, guru dan orang tua, mungkin banyak berbeda di zaman dulu dengan zaman now, bahkan anggapan bahwa "Guru adalah orang tua anak di sekolah" sudah banyak ditinggalkan. Dalam batas yang wajar, mereka punya otoritas yang sama dengan orang tua dalam hal mendidik dan mendisiplinkan anak.

Bagaimana menurut teman-teman? Harus seperti apakah hubungan murid, guru dan orang tua? Ada yang sependapat atau bahkan tidak sependapat dengan saya?

Share di kolom komentar ya..

Read more

16 Oct 2017

Menerapkan Zero Waste, Yakin Bisa!

Senin telah tiba, berapa banyak sampah yang teman-teman hasilkan saat libur kemarin?

Membaca tulisan Mak Haeriah Syamsuddin di Web KEB saya jadi merasa ditarik kembali ke dalam prinsip lama saya. Lama karena sudah tergantikan dengan yang baru, tapi lama bukan berarti sudah usang dan tak bisa diterapkan lagi di jaman now. *Halah bahasanya*


Dalam tulisan tentang Zero waste, kita diingatkan lagi tentang gaya hidup yang serba menghasilkan sampah, tentang prinsip-prinsip dalam zero waste yaitu 3 Re. Re-use, re-cycling dan re-duce. Mari bertanya kita sudah berpartisipasi di bagian mana?

Kalau ditanya, maka saya akan terdiam. Belum banyak yang bisa saya lakukan. Padahal waktu diajak membayangkan bagaimana seandainya saya hidup berdampingan dengan sampah yang sudah saya hasilkan selama ini saya malah merasa ngeri. Pasti sampahnya banyak dan menimbukan bau yang tidak sedap.

Selama ini sebenarnya saya lebih concern ke masalah sampah yang seringkali dibuang tidak pada tempatnya. Hanya meletakkannya pada tempatnya saja rasanya susah sekali mengedukasinya. Lebih mudah memberitahu anak-anak dibanding orang tua. Iya kalau orang yang lebih tua disekitar saya yang saya beritahu, kalau orang tua yang tidak saya kenal sepertinya susah. Ah.. Mungkin saya saja yang mentalnya lembek. Gak berani.. Gak enakan..

Itu..

Selama ini perhatian saya banyak ke masalah itu. Masih kurang concern ke masalah mengurangi sampah. Entahlah saya menulis ini untuk menyemangati kita untuk sama-sama menerapkan zero waste atau hanya tulisan berupa pengakuan. Tapi saya harap dengan membaca dan menulis tentang ini, awareness kita terhadap gaya hidup tersebut bisa meningkat.

Baca juga: Maaf.. Aku Membencimu

Untuk mengenali lebih banyak mengenai konsep ini, saya mencoba untuk cari tahu dengan membaca beberapa artikel, saya bagikan juga agar kita sama-sama tahu/ingat yes..

Jadi penemu konsep Zero Waste ini adalah seorang profesor kimia lingkungan bernama Paul Connet. Untuk mendukung keberhasilannya, beliau memberikan 10 langkah untuk mengurangi bahkan sampai pada tahap zero waste. Berikut 10 tahapan yang digagas oleh penemu konsep yang sering juga disebut pahlawan/bapak nol sampah:

  1. Memilah sampah
  2. Mengumpulkan dari rumah ke rumah
  3. Membuat kompos
  4. Daur ulang
  5. Memperbaiki dan menggunakan ulang
  6. Inisiatif untuk mengurangi sampah
  7. Insentif ekonomi
  8. Pemisahan fasilitas pengolahan sampah dan pusat riset nol sampah
  9. Desain produk yang lebih ramah lingkungan
  10. TPA Sementara

Sumber: Mongabay

(Artikel berbahasa inggris, kurang lebih diartikan seperti itu, jika masih ada yang salah atau kurang bisa bantu disampaikan ke saya. :) )

So, mari cek hal-hal apa saja yang sudah saya lakukan untuk mengurangi sampah?

1. Tidak mudah membuang kertas
Ini salah satu kebiasaan lama yang Alhamdulillah masih terbawa sampai saat ini. Terasa sekali saat bekerja sebagai sekretaris. Saya sering ditinggalkan pesan di atas kertas saat sedang tidak berada di ruangan. Sayangnya, pesan pendek seperti "Tolong dimintakan tanda tangan bapak." atau "Buat bos" ditulis di atas kertas besar yang peruntukannya untuk mencetak surat atau apapun yang memang sesuai dengan ukuran kertas itu. Pemborosan menurut saya, akhirnya saya membuat kertas khusus untuk meninggalkan pesan.

Untuk membuat kertas khusus pesan itu, saya akhirnya memutuskan menyobek kertas bekas dengan menggunakan mistar, memang sih, akan lebih rapi jika digunting atau menggunakan pemotong kertas, tapi akan lebih banyak korban kertas berjatuhan jika saya meninggalkan ruangan, sedangkan waktu saya juga akan lebih banyak terpakai jika harus mengguntingnya dengan cantik.


Alhamdulillah, setelah meninggalkan potongan kertas itu di tempat yang gampang dilihat, potongan kertas itu "laris" dan tidak ada rasa bersalah atau "geram" lagi saat melihat ada kertas berisi pesan di atas meja.

Dan saat ini, saat saya sudah tidak lagi menjadi sekretaris dan harus mencetak dokumen untuk laporan sementara, saya tetap menggunakan kertas bekas untuk mencetaknya. Beruntung teman saya di bidang juga melakukan hal yang sama, jadinya saya tidak perlu lagi mengumpulkan kertas bekas seorang diri. Alhamdulillah..

2. Menggunakan selembar kapas untuk 4 kali membersihkan wajah
Sebenarnya ada kekhawatiran saya akan dikatakan pelit dalam hal ini. But trust me, saya tidak sendiri, teman saya di kantor juga melakukan hal yang sama (tapi mungkin dia hanya pakai untuk 2 kali saja). Sebut saja kami berhasil menemukan kapas yang lembut tapi tidak koyak saat dipakai membersihkan wajah. Jadi selembar kapas itu saya bagi 2 lalu saya gunakan timbal balik, jadilah 1 lembar bisa dipakai untuk 4 kali.

Jujur saja, sebelumnya saya sempat anti menggunakan kapas/tisyu jika tidak kepepet. Tapi pada akhirnya saya menemukan produk yang cocok di wajah dan mengharuskan saya menggunakan kapas untuk produk face toner-nya. Itupun sudah saya kurangi pemakaiannya untuk produk milk cleanser. Sebelumnya, saya coba tidak menggunakan produk yang menggunakan kapas. Tapi entah kapan saya mulai luluh, mungkin dengan menggunakan kapas dengan cara inilah saya bisa mengurangi rasa bersalah sekaligus mengurangi produksi sampah. Semoga..

3. Menggunakan kantong plastik bekas
Kebiasaan ini syukurnya sudah cukup umum dilakukan, apalagi diawal tahun 2016 kita sudah sempat diberi "kejutan" tentang pembayaran kantong belanjaan di supermarket. Entah sekarang masih diberlakukan atau tidak, tapi di kota kami sudah digratiskan kembali, tapi semoga cukup berefek dalam menghidupkan kebiasaan baik ya. Gak ikut-ikutan panas-panas ayam goreng *dibikin gini aja, dari pada jorok.* :D

Oh ya, di rumah, mama juga memberi contoh yang oke. Ikan yang sering kali dibeli sekali banyak dipelelangan, akan disimpan di freezer dalam jumlah yang lebih kecil lagi (misalnya untuk sekali masak), disimpan di wadah plastik tebal, bekas minyak goreng isi ulang atau sejenisnya. Selain mudah untuk mengambil kembali, hal ini juga merupakan penerapan re-use yang menguntungkan.

Sejauh ini rasanya hanya itu yang bisa saya lakukan untuk mengurangi produksi sampah, mungkin saya harus kembali rajin menggunakan sapu tangan seperti dulu lagi. Efek pelupa yang sudah keseringan, jadinya ya menggunakan tisyu. Berharap bisa lebih banyak menerapkan zero waste dengan lebih baik.

Teman-teman, sudah melakukan upaya apa dalam mengurangi sampah?

Jangan skeptis dalam menerapkan Zero Waste, Yakin Bisa!

Read more

8 Oct 2017

Resep Telur Ikan Tumis Belimbing

Hari Rabu, 3 hari yang lalu rasanya penuh malu untuk saya. Saya mengeluarkan banyak keringat dalam waktu singkat, padahal tidak sedang berolahraga.


Jadi, saya mengalami 3 hal memalukan secara berturut-turut, pertama salah lokasi (kantor cabang) arisan, ketiga walaupun sudah berkendara beberapa kilo lagi ke tempat arisan, saya salah pintu masuk untuk menuju aula, orang-orang sedang rapat! Ah, terbayang kan malunya?

Tapi sabar dulu, ada hal yang lebih memalukan lagi, yaitu saat perjalanan menuju ke lokasi arisan sebenarnya. Jadi, saya sudah kembali menyetir lagi, sudah sekitar hampir 4 minggu, tapi rutenya sangat menjauhi yang namanya tanjakan dan macet parah. Nah, kali ini saya sok berani menghadapi kenyataan, dan memang kenyataannya saya harus malu di depan umum.

Mobil yang saya kendarai tidak bisa menyeberang jalan. Ya, maklum saja memang rutenya lumayan susah untuk pemula seperti saya. Singkat cerita akhirnya saya harus meminta pertolongan sopir angkot untuk memindahkan kendaraan saya. Dan itu saaaangat memalukan.*Tutup muka*

Oke, mungkin pengantar di atas tidak begitu nyambung dengan judul yang ada pada tulisan ini. Tapi di hari-hari yang terasa berat atau memakan banyak energi seperti Rabu kemarin, biasanya saya butuh makanan enak untuk menghibur diri.

Beruntung setibanya di rumah, Mama menyambut saya dengan kabar gembira. Lauk yang sudah lama saya inginkan akhirnya tersaji di meja makan. Tumis isi perut ikan. Saking senangnya saya langsung masukkan ke instagram khusus makanan @maitomanga milik saya.

Tidak disangka beberapa orang menanyakan resep, dan rasanya cukup pas dengan tema menulis 1 Minggu 1 Cerita kali ini, Kuliner khas atau favorit. Ahh.. Bisalah sekalian dituliskan di blog saja. Hehe

Tapi, karena agak susah memastikan apa nama organ dalam ikan yang turut nyemplung di masakan Mama, maka saya fokuskan telur ikan sebagai bahan utamanya ya. Main aman, dari pada ngasal ye kaaann? Hehe

So, ini dia resep Telur Ikan Tumis Belimbing

Bahan:
250 gr Telur ikan
1 1/2 buah Asam Jawa
5 siung Bawang Merah
2 siung Bawang Putih
2 buah Cabai merah
7 buah Belimbing wuluh
Kunyit secukupnya
1 buah Serai
2 lembar Daun salam
Merica secukupnya
Garam secukupnya
Penyedap secukupnya
Minyak goreng secukupnya
Air secukupnya

Cara membuat
1. Rendam telur ikan di dalam air asam dan garam, biarkan selama 15 menit.
2. Iris tipis cabai merah, bawang merah dan bawang putih.
3. Iris juga belimbing wuluh, 1 belimbing dipotong menjadi 3 atau 4 bagian, disesuaikan dari ukurannya saja.
4. Panaskan minyak, masukkan bawang merah dan bawang putih lalu cabai merah, telur ikan bersama air rendamannya. Lalu masukkan merica, serai, daun salam, air, kunyit, garam dan penyedap. Setelah setengah matang, masukkan belimbing. Cek rasa, hidangkan selagi hangat.


Karena bahan utamanya cukup sulit didapatkan, kecuali kalau ada pedagang yang memang menjual. Atau seperti kemarin, kebetulan Mama beli ikan yang ukurannya cukup besar dan di dalamnya ada telur ikan yang bisa diolah. Lucky me!

Jadi, kalau kebetulan ketemu bahannya, bisa deh dicoba resepnya. Rasanya perpaduan gurih dari tekur ikan dan segar dari belimbingnya. Enak lhoo! :)

Read more
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...